Pastinya kalian pernah melihat pengemis atau pengamen jalanan yang sedang menggendong anak? Gak peduli hujan maupun sengatan matahari, mereka terus berkativitas menjalanankan profesi “pengemisnya”. Sebuah kabar yang sebetulnya sedikit tidak asing lagi namun tergolong aneh tapi nyata, tau ga ternyata sebagian anak yang dibawa para pengemis itu adalah hasil sewaan. Itupun disewa dengan harga murah.
Saya pernah membaca sebuah majalah namanya Sekar sekitar bulan Maret 2011 yang lalu. Dalam majalah tersebut diceritakan apa yang tim Investigasi majalah tersebut dapatkan.
Yang namanya di kota besar, apalagi di Jakarta, mungkin hal ini sudah gak asing banget di hadapan kalian. Namun kenapa seolah-olah ini menjadi rahasia umum yang sebenarnya bisa dibongkar, tapi tidak bisa di hancurkan. Kenapa?
Menurut informasi yang saya terima, di Jakarta ada 3 tempat yang dijadikan markas para penyewa bayi ini. Ketiga tempat tersebut adalah Depok, Jatinegara dan Tanah Abang. Mereka (para penyewa) hidup di gang-gang kecil padat penduduk. Jika dilihat sekilas, tidak terlihat sedikit pun aktivitas pengemis dan pengamen jalanan. Mereka berbaur seperti masyarakat normal lainnya. Tapi jangan salah, walaupun tinggal di gang-gang sempit, hampir di setiap rumah terdapat televisi, radio, kulkas, hingga sepeda motor.
Tempat pertama yang di datangi tim investigasi adalah Tanah Abang. Di salah satu sudut kawasan padat penduduk ini ada tempat tinggal para pengemis dari daerah Jombang, Jawa Timur. Dari cerita Lia, sebutlah namanya demikian, di tempat tinggalnya sering terjadi transaksi sewa menyewa bayi. Biasanya penyewaan dilakukan oleh orang-orang yang sudah saling kenal. “Kalau tidak saling kenal, sulit dilakukan,” kata perempuan yang sudah bertahun-tahun tinggal di tempat itu.
Penyewaan bayi biasanya diperlukan untuk mengemis, ngamen, dan joki 3 in 1. Menurut Lia, bila beraktivitas sambil menggendong bayi, pendapatan pengemis atau pengamen jalanan akan lebih tinggi. “Soalnya masyarakat kasihan melihat mereka,” lanjut Lia.
Berhubung si penyewa dan yang menyewakan saling kenal, harga sewa pun tidak terlalu mahal. Untuk satu hari (dari pagi sampai sore) tarif sewa bayi berkisar antara Rp. 15 ribu sampai Rp. 25 ribu, tergantung tujuan bayi disewa. Bila si penyewa akan menggunakan bayi untuk keperluan ngamen, harga sewa bayi Rp. 25 ribu. Berbeda bila bayi itu digunakan untuk joki 3 in 1, harganya lebih murah.
Untuk sekali ngejoki (sebutan aktivitas joki 3 in 1), mereka hanya mendapat Rp. 15 ribu. Dalam satu hari, rata-rata para joki ini mendapat dua kali ngejoki. Artinya, pendapatan mereka sekitar Rp. 30 ribu per hari. Uang itu belum termasuk membayar sewa bayi Rp. 15 ribu. Jadi bisa dikatakan secara kasar, para penyewa itu tidak termasuk kategori untung.
Berbeda dengan pengamen yang bisa mendapat Rp.50 ribu sampai Rp 100 ribu dalam satu hari. Karena itu pula, uang sewa bayi lebih mahal, mencapai Rp.25 ribu per hari. Harga itu belum termasuk makan si bayi selama beroperasi. Biasanya para penyewa menyiapkan susu dalam botol besar untuk mengganjal perut si bayi sehari penuh. Kata Lia, cara ini cukup menghemat uang. Penyewa tidak perlu lagi membeli makanan bayi yang harganya cukup mahal. Selain mahal, memberi makan pun membuat repot si penyewa.
Harga-harga yang disebutkan di atas belum termasuk denda yang diberlakukan oleh orang tua si bayi. Denda dikenakan bila si penyewa tidak mengembalikan bayi tepat waktu. Dendanya yaitu sekitar Rp.5 ribu sampai Rp. 10 ribu. Awalnya denda ini tak ada. Berhubung beberapa penyewa bayi selalu pulang malam dan telat memulangkan si bayi, orang tuanya pun protes. Karena itulah dibuat sistem denda.
Dari cerita Lia, bayi-bayi yang disewakan di daerah Bongkaran, Tanah Abang adalah anak-anak para Penjaja Seks Komersil (PSK). Biasanya tak jelas siapa ayah kandung anak-anak malang tersebut. Ditambah lagi, para PSK itu memang tak menginginkan anak. Mereka merasa tak siap bila harus mengurusi anak setiap hari. “Anak dianggap akan mengganggu aktivitas mereka saat mencari pelanggan baru,” ceritanya.
Alhasil, ketika ada orang yang menyewa bayi mereka, para PSK itu dengan senang hati menyerahkan begitu saja. Mayoritas para penyewa berusia 45 tahun ke atas. Ketika masih muda, mereka juga bekerja sebagai PSK di sekitar tempat itu. Berhubung usia semakin tua dan pelanggan tak mau lagi dengan mereka, satu per satu beralih pekerjaan menjadi pengamen dan joki 3 in 1.
Sementara itu, para perempuan yang masih muda memilih untuk bekerja “buka musik”. Istilah “buka musik” merupakan jargon di daerah itu yang berarti “buka kamar” atau melayani lelaki hidung belang. Istilah ini muncul karena setiap tempat di situ selalu memutar lagu-lagu dengan volume tinggi. “Dari situlah muncul istilah “buka musik,” lanjut Lia.
Beberapa penyewa menggunakan obat CTM untuk menidurkan bayi. Seperti yang kita ketahui, CTM adalah obat alergi untuk mengurangi gatal pada kulit. Obat ini menimbulkan kantuk. Efek samping inilah yang dimanfaatkan oleh para penyewa bayi.
Untuk membedakan mana bayi sewaan dan mana yang tidak, bisa dilihat dari perlakuan si orang tua kepada bayi itu. Bila dibiarkan terkena sinar matahari dan guyuran hujan, sudah bisa dipastikan bayi itu sewaan. Selain itu, bayi sewaan jarang disusui oleh orang yang menggendongnya.
Untuk penyewaan bayi di daerah Jatinegara. Hak yang terjadi tidak jauh beda dengan yang terjadi di Tanah Abang, tapi hanya saja harga sewanya yang lebih mahal, yaitu Rp. 30 ribu per hari. Oleh Tim Investigasi sempat berbincang-bincang dengan orang tua si pemilik bayi. Sebut saja namanya U. Perempuan berusia 35 tahun yang sudah 5 tahun menyewakan bayinya kepada para tetangga sekitar rumah.
Ia juga sering disebut “pabrik anak” oleh teman-temannya. Pasalnya, setiap tahun U pasti mengandung dan melahirkan. “Kini anak saya sudah 8 orang,” kata U sambil tersenyum. U mengaku awalnya ia tidak punya niat untuk menyewakan anaknya kepada orang lain.
10 tahun lalu, ia dan suami tinggal di Cirebon. Di sana suaminya bekerja sebagai buruh serabutan. Hasilnya tak seberapa, paling banyak sehari sang suami mendapatkan Rp. 10 ribu. Suatu hari si suami mengajak U untuk pindah ke Jakarta. “Kabarnya di sana penghasilan lebih bagus,” cerita sang suami saat itu. Perempuan ini menurut saja apa kata suami. Ia tak tahu, di Jakarta mau tinggal di mana dan bekerja apa. Yang ia tahu, suaminya sudah dapat kenalan di ibu kota dan siap bekerja.
Ternyata tidak demikian. Sesampainya di Jakarta, mereka tinggal di pemukiman padat penduduk di daerah Jatinegara. Belakangan ia baru tahu kalau daerah itu adalah tempat tinggal para pengemis. Yang membuat ia semakin kaget, ternyata suaminya juga ikut-ikutan menjadi pengemis. Melihat kenyataan itu, U sempat meminta pulang ke kampung, namun sang suami tak mau. “Terpaksa saya menerima saja,” katanya.
Seiring waktu, U mulai menikmati pekerjaan suaminya. Pasalnya, hasil yang didapat oleh suaminya terbilang tinggi. Bayangkan saja, dalam satu hari pendapatan suaminya bisa mencapai Rp. 100 ribu. Bila dirata-rata dalam sebulan, pendapatan mereka bisa mencapai Rp. 3 juta. Jumlah yang luar biasa, bukan?
Merasa tercukupi dengan pendapatan suami, U pun mulai “hobi” mengandung dan melahirkan. Sampai akhirnya mereka mempunyai 8 anak. Salah seorang teman, yang juga bekerja sebagai pengemis dan tinggal di daerah itu, sempat ia pinjamkan salah satu anaknya untuk mengemis. “Ternyata dengan cara ini pendapatan dia jadi tinggi,” kata U.
Dulu, si teman ini selalu mengeluhkan pendapatan mengemisnya. Paling bagus sehari hanya dapat Rp. 20 ribu. Malah pernah dalam sehari tak ada yang memberi. Memang, secara fisik si teman ini terlihat segar bugar. Usianya masih 30 tahun. Mungkin karena itulah masyarakat tak percaya dengannya. Untuk membantu sang teman, U pun menawarkan bayinya untuk mengemis. Katanya, sih, hitung-hitung bantu teman.
Dan, benar saja, ketika mengemis sambil menggendong bayi, penghasilan si teman ini meningkat tajam. Bahkan kadang pendapatannya bisa mencapai Rp. 200 ribu. Semenjak itu pula U langsung berpikir untuk menyewakan anak-anaknya kepada para tetangga. Dan anehnya lagi, cara menyewakan bayi ini sangat diminati oleh teman-teman U. Sampai-sampai ada temannya yang antri karena tidak kebagian jatah bayi.
Sama halnya dengan daerah Tanah Abang dan Depok, di Jatinegara pun ada hal serupa. Penyewaan ini dilakukan antar pengemis di wilayah yang sama. Orang lain tidak diizinkan untuk menyewa. Di tempat ini para pengemis mayoritas berasal dari Indramayu, Jawa Barat.
Yang anehnya, pengemis dari tempat ini memiliki yang namanya “baju seragam”. Yang dimaksud “Baju seragam” disini adalah istilah untuk baju yang dipakai untuk mengemis. Baju itu lusuh dan sobek.
Seorang pengemis perempuan berusia 40 tahun yang berasal dari daerah Jatinegara, sebut saja inisial namanya R. Ia selalu membawa “baju seragam” dan bayi sewaannya setiap kali mengemis. Lokasi tempat mangkal R sehari-hari adalah di sekitar Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Untuk menuju ke daerah itu dari tempat tinggalnya, Depok, R menggunakan angkutan umum. “Baju seragam” itu ia bungkus dalam tas dan bayi ia gendong menggunakan kain panjang. Sekilas, tak tampak kalau R adalah pengemis. Sesampai di daerah Menteng, ia turun dari angkutan umum dan mencari tempat sepi untuk mengganti baju. Setelah itu ia pun siap beraksi.
Dan tak disangka, ternyata pengemis di daerah Jatinegara ini bisa dibilang pengemis yang terorganisir. Karena mereka mempunyai yang namanya tata cara? Yang dimaksud tata cara dan aturannya. Dahulu, sebelum tata cara naik angkot sendiri diberlakukan, si R bersama teman-temannya selalu diangkut oleh bos besar menggunakan mobil pribadi.
Ckckckckckckck.. Tapi kok belum ada tindak lanjut dari departemen pemerintahan yang terkait ya?
Menurut Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, meminjam atau menyewakan bayi merupakan salah satu bentuk eksploitasi anak. Pada dasarnya, apa pun alasan mereka, anak tak bisa dijadikan “benda” untuk mencari keuntungan semata. Hal ini nantinya akan merugikan si bayi atau anak tersebut.
Bisa saja karena keseringan di jalan, si bayi itu akan sakit. Tidak hanya itu, kondisi ini juga berpengaruh pada tumbuh kembang si bayi nantinya. Karena terlalu sering berada di jalanan, ia juga akan beringas dan kasar.
Untuk itu, Arist menegaskan, siapa pun yang berani melakukan transaksi sewa-menyewa bayi, akan ditindak secara hukum. Para pelaku, baik orang tua bayi maupun orang yang menyewa akan dipenjara 3 sampai 15 tahun.
“Saya juga mengimbau masyarakat untuk mau melaporkan kasus-kasus ini kepada pihak berwajib,” katanya.
Tapi pak? Hal yang sedah diketahui di depan mata aja tidak segera di basmi, malah mau nunggu laporan dari masyarakat lagi.. Kesuwen bos Arist… Keduluan kiamat euy… Tapi ya mau gimana lagi. Inilah dinamika kehidupan dunia yang memang benar-benar ada.
Sumber :
gugling.com
Yang namanya di kota besar, apalagi di Jakarta, mungkin hal ini sudah gak asing banget di hadapan kalian. Namun kenapa seolah-olah ini menjadi rahasia umum yang sebenarnya bisa dibongkar, tapi tidak bisa di hancurkan. Kenapa?
Menurut informasi yang saya terima, di Jakarta ada 3 tempat yang dijadikan markas para penyewa bayi ini. Ketiga tempat tersebut adalah Depok, Jatinegara dan Tanah Abang. Mereka (para penyewa) hidup di gang-gang kecil padat penduduk. Jika dilihat sekilas, tidak terlihat sedikit pun aktivitas pengemis dan pengamen jalanan. Mereka berbaur seperti masyarakat normal lainnya. Tapi jangan salah, walaupun tinggal di gang-gang sempit, hampir di setiap rumah terdapat televisi, radio, kulkas, hingga sepeda motor.
Tempat pertama yang di datangi tim investigasi adalah Tanah Abang. Di salah satu sudut kawasan padat penduduk ini ada tempat tinggal para pengemis dari daerah Jombang, Jawa Timur. Dari cerita Lia, sebutlah namanya demikian, di tempat tinggalnya sering terjadi transaksi sewa menyewa bayi. Biasanya penyewaan dilakukan oleh orang-orang yang sudah saling kenal. “Kalau tidak saling kenal, sulit dilakukan,” kata perempuan yang sudah bertahun-tahun tinggal di tempat itu.
Penyewaan bayi biasanya diperlukan untuk mengemis, ngamen, dan joki 3 in 1. Menurut Lia, bila beraktivitas sambil menggendong bayi, pendapatan pengemis atau pengamen jalanan akan lebih tinggi. “Soalnya masyarakat kasihan melihat mereka,” lanjut Lia.
Berhubung si penyewa dan yang menyewakan saling kenal, harga sewa pun tidak terlalu mahal. Untuk satu hari (dari pagi sampai sore) tarif sewa bayi berkisar antara Rp. 15 ribu sampai Rp. 25 ribu, tergantung tujuan bayi disewa. Bila si penyewa akan menggunakan bayi untuk keperluan ngamen, harga sewa bayi Rp. 25 ribu. Berbeda bila bayi itu digunakan untuk joki 3 in 1, harganya lebih murah.
* Tarif Sewa Bayi : Rp. 15.000 – Rp. 25.000Perbedaan harga muncul karena pendapatan mengamen dan joki 3 in 1 jauh berbeda. Untuk joki 3 in 1, waktunya dibatasi sesuai dengan jadwal 3 in 1 di Jakarta, yakni pukul 07.00 sampai 10.00 dan pukul 17.00 sampai 19.00. Dengan keterbatasan waktu itu pula pendapatan si joki tidak terlalu banyak.
* Tarif Sewa Bayi Untuk Ngamen : Rp. 25.000
* Tarif Sewa Bayi Untuk Joki : Rp. 15.000
Untuk sekali ngejoki (sebutan aktivitas joki 3 in 1), mereka hanya mendapat Rp. 15 ribu. Dalam satu hari, rata-rata para joki ini mendapat dua kali ngejoki. Artinya, pendapatan mereka sekitar Rp. 30 ribu per hari. Uang itu belum termasuk membayar sewa bayi Rp. 15 ribu. Jadi bisa dikatakan secara kasar, para penyewa itu tidak termasuk kategori untung.
Berbeda dengan pengamen yang bisa mendapat Rp.50 ribu sampai Rp 100 ribu dalam satu hari. Karena itu pula, uang sewa bayi lebih mahal, mencapai Rp.25 ribu per hari. Harga itu belum termasuk makan si bayi selama beroperasi. Biasanya para penyewa menyiapkan susu dalam botol besar untuk mengganjal perut si bayi sehari penuh. Kata Lia, cara ini cukup menghemat uang. Penyewa tidak perlu lagi membeli makanan bayi yang harganya cukup mahal. Selain mahal, memberi makan pun membuat repot si penyewa.
Harga-harga yang disebutkan di atas belum termasuk denda yang diberlakukan oleh orang tua si bayi. Denda dikenakan bila si penyewa tidak mengembalikan bayi tepat waktu. Dendanya yaitu sekitar Rp.5 ribu sampai Rp. 10 ribu. Awalnya denda ini tak ada. Berhubung beberapa penyewa bayi selalu pulang malam dan telat memulangkan si bayi, orang tuanya pun protes. Karena itulah dibuat sistem denda.
Dari cerita Lia, bayi-bayi yang disewakan di daerah Bongkaran, Tanah Abang adalah anak-anak para Penjaja Seks Komersil (PSK). Biasanya tak jelas siapa ayah kandung anak-anak malang tersebut. Ditambah lagi, para PSK itu memang tak menginginkan anak. Mereka merasa tak siap bila harus mengurusi anak setiap hari. “Anak dianggap akan mengganggu aktivitas mereka saat mencari pelanggan baru,” ceritanya.
Alhasil, ketika ada orang yang menyewa bayi mereka, para PSK itu dengan senang hati menyerahkan begitu saja. Mayoritas para penyewa berusia 45 tahun ke atas. Ketika masih muda, mereka juga bekerja sebagai PSK di sekitar tempat itu. Berhubung usia semakin tua dan pelanggan tak mau lagi dengan mereka, satu per satu beralih pekerjaan menjadi pengamen dan joki 3 in 1.
Sementara itu, para perempuan yang masih muda memilih untuk bekerja “buka musik”. Istilah “buka musik” merupakan jargon di daerah itu yang berarti “buka kamar” atau melayani lelaki hidung belang. Istilah ini muncul karena setiap tempat di situ selalu memutar lagu-lagu dengan volume tinggi. “Dari situlah muncul istilah “buka musik,” lanjut Lia.
Lalu bagaimana bila si bayi menangis saat disewa?
Memang banyak bayi yang “berontak” saat disewa oleh orang lain. Mungkin ia tahu kalau si penyewa bukanlah orang tua kandungnya. Yang lebih mengerikan, beberapa penyewa malah menggunakan obat tidur untuk menenangkan si bayi. Dengan begini bayi itu akan patuh dan diam saja selama berada di bawah terik matahari dan guyuran hujan.Beberapa penyewa menggunakan obat CTM untuk menidurkan bayi. Seperti yang kita ketahui, CTM adalah obat alergi untuk mengurangi gatal pada kulit. Obat ini menimbulkan kantuk. Efek samping inilah yang dimanfaatkan oleh para penyewa bayi.
Untuk membedakan mana bayi sewaan dan mana yang tidak, bisa dilihat dari perlakuan si orang tua kepada bayi itu. Bila dibiarkan terkena sinar matahari dan guyuran hujan, sudah bisa dipastikan bayi itu sewaan. Selain itu, bayi sewaan jarang disusui oleh orang yang menggendongnya.
Untuk penyewaan bayi di daerah Jatinegara. Hak yang terjadi tidak jauh beda dengan yang terjadi di Tanah Abang, tapi hanya saja harga sewanya yang lebih mahal, yaitu Rp. 30 ribu per hari. Oleh Tim Investigasi sempat berbincang-bincang dengan orang tua si pemilik bayi. Sebut saja namanya U. Perempuan berusia 35 tahun yang sudah 5 tahun menyewakan bayinya kepada para tetangga sekitar rumah.
Ia juga sering disebut “pabrik anak” oleh teman-temannya. Pasalnya, setiap tahun U pasti mengandung dan melahirkan. “Kini anak saya sudah 8 orang,” kata U sambil tersenyum. U mengaku awalnya ia tidak punya niat untuk menyewakan anaknya kepada orang lain.
10 tahun lalu, ia dan suami tinggal di Cirebon. Di sana suaminya bekerja sebagai buruh serabutan. Hasilnya tak seberapa, paling banyak sehari sang suami mendapatkan Rp. 10 ribu. Suatu hari si suami mengajak U untuk pindah ke Jakarta. “Kabarnya di sana penghasilan lebih bagus,” cerita sang suami saat itu. Perempuan ini menurut saja apa kata suami. Ia tak tahu, di Jakarta mau tinggal di mana dan bekerja apa. Yang ia tahu, suaminya sudah dapat kenalan di ibu kota dan siap bekerja.
Ternyata tidak demikian. Sesampainya di Jakarta, mereka tinggal di pemukiman padat penduduk di daerah Jatinegara. Belakangan ia baru tahu kalau daerah itu adalah tempat tinggal para pengemis. Yang membuat ia semakin kaget, ternyata suaminya juga ikut-ikutan menjadi pengemis. Melihat kenyataan itu, U sempat meminta pulang ke kampung, namun sang suami tak mau. “Terpaksa saya menerima saja,” katanya.
Seiring waktu, U mulai menikmati pekerjaan suaminya. Pasalnya, hasil yang didapat oleh suaminya terbilang tinggi. Bayangkan saja, dalam satu hari pendapatan suaminya bisa mencapai Rp. 100 ribu. Bila dirata-rata dalam sebulan, pendapatan mereka bisa mencapai Rp. 3 juta. Jumlah yang luar biasa, bukan?
Merasa tercukupi dengan pendapatan suami, U pun mulai “hobi” mengandung dan melahirkan. Sampai akhirnya mereka mempunyai 8 anak. Salah seorang teman, yang juga bekerja sebagai pengemis dan tinggal di daerah itu, sempat ia pinjamkan salah satu anaknya untuk mengemis. “Ternyata dengan cara ini pendapatan dia jadi tinggi,” kata U.
Dulu, si teman ini selalu mengeluhkan pendapatan mengemisnya. Paling bagus sehari hanya dapat Rp. 20 ribu. Malah pernah dalam sehari tak ada yang memberi. Memang, secara fisik si teman ini terlihat segar bugar. Usianya masih 30 tahun. Mungkin karena itulah masyarakat tak percaya dengannya. Untuk membantu sang teman, U pun menawarkan bayinya untuk mengemis. Katanya, sih, hitung-hitung bantu teman.
Dan, benar saja, ketika mengemis sambil menggendong bayi, penghasilan si teman ini meningkat tajam. Bahkan kadang pendapatannya bisa mencapai Rp. 200 ribu. Semenjak itu pula U langsung berpikir untuk menyewakan anak-anaknya kepada para tetangga. Dan anehnya lagi, cara menyewakan bayi ini sangat diminati oleh teman-teman U. Sampai-sampai ada temannya yang antri karena tidak kebagian jatah bayi.
Sama halnya dengan daerah Tanah Abang dan Depok, di Jatinegara pun ada hal serupa. Penyewaan ini dilakukan antar pengemis di wilayah yang sama. Orang lain tidak diizinkan untuk menyewa. Di tempat ini para pengemis mayoritas berasal dari Indramayu, Jawa Barat.
Yang anehnya, pengemis dari tempat ini memiliki yang namanya “baju seragam”. Yang dimaksud “Baju seragam” disini adalah istilah untuk baju yang dipakai untuk mengemis. Baju itu lusuh dan sobek.
Seorang pengemis perempuan berusia 40 tahun yang berasal dari daerah Jatinegara, sebut saja inisial namanya R. Ia selalu membawa “baju seragam” dan bayi sewaannya setiap kali mengemis. Lokasi tempat mangkal R sehari-hari adalah di sekitar Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Untuk menuju ke daerah itu dari tempat tinggalnya, Depok, R menggunakan angkutan umum. “Baju seragam” itu ia bungkus dalam tas dan bayi ia gendong menggunakan kain panjang. Sekilas, tak tampak kalau R adalah pengemis. Sesampai di daerah Menteng, ia turun dari angkutan umum dan mencari tempat sepi untuk mengganti baju. Setelah itu ia pun siap beraksi.
Dan tak disangka, ternyata pengemis di daerah Jatinegara ini bisa dibilang pengemis yang terorganisir. Karena mereka mempunyai yang namanya tata cara? Yang dimaksud tata cara dan aturannya. Dahulu, sebelum tata cara naik angkot sendiri diberlakukan, si R bersama teman-temannya selalu diangkut oleh bos besar menggunakan mobil pribadi.
Ckckckckckckck.. Tapi kok belum ada tindak lanjut dari departemen pemerintahan yang terkait ya?
Menurut Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, meminjam atau menyewakan bayi merupakan salah satu bentuk eksploitasi anak. Pada dasarnya, apa pun alasan mereka, anak tak bisa dijadikan “benda” untuk mencari keuntungan semata. Hal ini nantinya akan merugikan si bayi atau anak tersebut.
Bisa saja karena keseringan di jalan, si bayi itu akan sakit. Tidak hanya itu, kondisi ini juga berpengaruh pada tumbuh kembang si bayi nantinya. Karena terlalu sering berada di jalanan, ia juga akan beringas dan kasar.
Untuk itu, Arist menegaskan, siapa pun yang berani melakukan transaksi sewa-menyewa bayi, akan ditindak secara hukum. Para pelaku, baik orang tua bayi maupun orang yang menyewa akan dipenjara 3 sampai 15 tahun.
“Saya juga mengimbau masyarakat untuk mau melaporkan kasus-kasus ini kepada pihak berwajib,” katanya.
Tapi pak? Hal yang sedah diketahui di depan mata aja tidak segera di basmi, malah mau nunggu laporan dari masyarakat lagi.. Kesuwen bos Arist… Keduluan kiamat euy… Tapi ya mau gimana lagi. Inilah dinamika kehidupan dunia yang memang benar-benar ada.
Sumber :
gugling.com
No comments:
Post a Comment
Komen silakan.